Minggu, 07 April 2013

makalah sholat jama' dan qoshor


BAB I
PENDAHULUAN
            Shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak. Shalat juga dapat dijadikan barometer amal-amal lain seperti diungkapkan dalam sebuah hadits:
 “Hal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat”.

            Khalifah Umar bin Al Khattab pernah mengirim surat kepada Gubernur yang diangkatnya, pesannya, “sesungguhnya tugas kalian sebagai Gubernur yang paling utama di mataku adalah shalat. Barang siapa memelihara shalat, berarti ia telah memelihara agamanya. Barang siapa yang lalai terhadap shalatnya, terhadap urusan lain akan lebih lalai”.
            Begitu pentingnya shalat, karena shalat merupakan penentu amal yang lain. Jika shalatnya baik, maka baik pula amalnya yang lain. Ada juga para ulama yang mengibaratkan bahwa shalat itu diibaratkan sebagai angka I (satu) sedangkan amal selain shalat itu diibaratkan angka 0, sehingga jika shalatnya rusat atau bahkan tidak melakukan shalat maka nilai sama dengan nol walaupun amalnya banyak. Akan tetapi jika shalatnya baik dan selalu dikerjakan maka semua amalnya itu bernilai.
Oleh karena itu, maka shalat tidak boleh ditinggalkan walau bagaimanapun keadaannya kecuali orang yang haid atau nifas atau keadaan bahaya. Namun ada beberapa keringanan (rukhsah) bagi orang yang ada dalam perjalanan (musafir) dalam tata cara pelaksanaan shalat, yaitu dengan cara shalat jama dan shalat qashar. Namun hal itu juga bukan berarti boleh meninggalkan shalat begitu saja, hanya berpindah pelaksanaan pada waktu tertentu (yang telah diisyaratkan) dan syarat-syarat tertentu pula.





1.1  Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana latar belakang disyari'atkannya sholat jama'?
1.2.2 Apa saja syarat-syarat diperbolehkannya melakukan sholat jama'?
1.2.3 Bagaimana tata cara melaksanakan sholat jama'?
1.2  Tujuan
1.3.1 Mengetahui latar belakang disyari'atkannya sholat jama'
1.3.2 Mengetahui syarat-syarat diperbolehkannya melakukan sholat jama'
1.3.3 Mengetahui tata cara melaksanakan sholat jama



BAB II
PEMBAHASAN

2.1            Pengertian
2.1.1Sholat Qosor
Definisi qosor secara etimologi bahasa arab adalah ringkasan, meringkas. Adapun definisi qosor menurut terminologi syara’ adalah meringkas sholat fardlu yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Maka biasa yag diqosor hanya sholat dzuhur, ashar, dan isya’ saja. Sholat qosor adalah sholat yang diringkas dari empat raka’at menjadi dua raka’at dengan tetap menbaca al-fatihah dan surat. Dengan demikian, sholat maghrib dan sholat subuh tidak dapat diqosor, karena sholat maghrib tiga raka’at dan subuh dua raka’at.[1]
2.1.2 Sholat jama’
Menjama’ sholat yaitu mengumpulkan dua sholat fardlu dalam satu waktu sholat, dengan mengajukan sholat yang kemudian kepada waktu sholat yang lebih dahulu atau dengan mengundurkan sholat yang lebih dahulu kepada waktu sholat yang kemudian[2].
Sholat-sholat yang boleh dijama’kan  yaitu sholat dhuhur dengan sholat ashar, sholat magrib dengan dengan sholat ‘isya’. Apabila dengan mengajukan sholat yang kemudian kepada waktu sholat yang kebih dahulu, yakni sholat dhuhur dengan sholat ashar dikerjakan pada waktu sholat dhuhur, dan sholat maghrib dengan sholat ‘isya’ dikerjakan pada waktu sholat maghrib, yang dinamakan dengan jama’ taqdim. Sedangkan dengan mengundurkan sholat yang lebih dahuku pada waktu sholat yang kemudian, yakni sholat dhuhur dengan sholat ashar dikerjakan pada waktu sholat ashar, dan sholat maghrib dengan sholat ‘isya’ dikerjakan pada waktu sholat ‘isya’, dinamakan dengan jama’ ta’khir.




2.2   Dalil disyari’atkan sholat jama’ dan qoshor
Menqoshor sholat dibolehkan dalam al-qur’an, sunnah, dan ijma’[3]. Adapun dalil al qur’an dalam surah an-Nisa’:101 yaitu :
وَإِذَاضَرَبْتُمْ فِي الاءَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناَحٌ أَن تَقْصُرُوْامِنَ الصَّلَوٰةِ اِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا.
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak lah engkau menqoshor sembahyang (mu), jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir[4].
Semetara dalam sunnah, terdapat khabar yang mutawatir bahwa rosullah SAW. Mengqoshor sholatnya di beberapa perjalanan beliau, baik saat haji, umroh, dan berperang.
 perbuatan Rasulullah saw yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik:
عَنْ أَنَسٍ , أَنَّ رَسُوْلَ صلى الله عليه وسلم صَلَّي الظُّهْرَ بِالْمَدِيْنَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّي الْعَصْرَ بِذِ الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ 
“Dari Anas RA. Bahwa sesunggunya Nabi Muhammad saw sholat dzuhur di kota Madinah empat raka’at (tidak qosor) dan sholat ashar di Dzi al-Hulaifah (miqathaji penduduk Madinah) dua raka’at (diqosor).”[5]
Juga berdasarkan hadist hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra.
أَنَّ النَّبِيَّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَّلَمْ كَانَ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ فِي السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيَصُوْمُ وَيُفْطِرُ           ( رواه الدار طقني ورجاله ثقات )
“ Nabi terkadang menqoshor sholat dalam perjalanan dan terkadang pula tidak menqoshornya, juga kadang berpuasa terkadang tidak”. ( Hadist Daraqutsi dan para perowinya dapat dipercaya )[6].
Sedangkan dalam ijma’, pendapat para ahli fiqih yang dipegang terpecah menjadi tiga pendapat: ada yang mengatakan wajib, sunnah, ataupun sekedar keringanan yang diperselisihkan bagi musafir untuk memilihnya.
Sedangkan dalil nyang menunjukkan disyari’atkannya sholat jama’ antar alin yaitu :
Dalam Allah berfirman dalam al qur’an surah an-Nisa’ ayat 103
فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوْااللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَي جُنُوْبِكُمْ فَإِذَااطْمَأْ نَنْتُمْ فَأَ قِيْمُوْا الصّلَاةَ إِنَّ الصّلَاةَ كَانَتْ عَلَي الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا
Sesunggahnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan oleh waktunya atas orang-orang yang beriman ( QS: An-Nisa’ ayat 103 )[7], dan waktu-waktu sholat ditentukan secara mutawatir maka tidak boleh ditinggalkan.
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, dia berkata “ Aku tidak pernah melihat Rosulloh SAW sholat diluar waktunya kecuali dua sholat, beliau menggabungkan antara sholat maghrib dan ‘isya’ di Muzdalifah, dan mengerjakan sholat subuh pada hari itu sebelum waktunya”.
2.3  Syarat-syarat sholat jam’ dan qoshor

2.3.1        Syarat yang membolehkan menqoshor sholat

a)      Jarak tempuh yang membolehkan men-qhosor
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan jarak perjalan yang dibolehkan menqoshor sholat.Menurut sebagian besar ‘ulama’ madzhab syafi’i, menqoshor sholat oleh orang yang sedang perjalanan jauh ataupun menyempurnakannya seperti biasa, kedua-duannya ja-iz ( yakni sama-sama dibolehkan, atau boleh memilih diantara kedua-duanya ). Tetapi apabila perjalanan tersebut berjarak lebih dari dua marhalab atau ditempuh dalam sedikitnya tiga hari perjalanan ( kira-kira 120 KM ) maka menqoshor sholat lebih afdlal dari pada menyempurnakannya.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, menqoshor sholat bagi musafir adalah wajib hukumnya. Tetapi hanya berlaku bagi orang yang menempuh perjalanan sejauh “tiga hari perjalanan” atau kira-kira 120 KM atau lebih.
Untuk boleh men-qoshor sholat, jarak perjalanan yang ditempuh harus mencapai jarak tertentu yang membolehkan men-qoshor sholat yang berjumlah empat reka’at[8]. Adapun yang dijadikan ukuran dalam soal menqoshor sholat ini adalah jarak perjalanan bukan lamanya perjalanan. Dengan demikian penggunaan sarana perjalanan apapun ( mobil, kereta apai, kapal laut, maupun pesawat terbang ) tidak dipersoalkan sepanjang erjalanan tersebut mencapai 80,640 KM, walaupun hanya ditempuh dalam waktu satu jam saja[9].
a)      Ketentua qoshor tidak berlaku pada perjalana maksiat
Mayoritas ulama’ membolehkan menqoshor sholat bagi mereka yang melakukan perjalanan yang sifatnya mendekatkan diri pada Allah SWT, seperti dalam perjalanan haji, umroh dan jihad. Atau yang mubah seperti perjalanan untuk perdagangan, menjenguk keluarga, dan sebagainya. Akan tetapi qoshor tidak berlaku bagi orang yang melakukan perjalanan maksiat seperti merampok, memerangi sesama muslim, dan sebagainya[10].
b)      Seorang musafir ketika sholat tidak boleh makmum kepada orang yang mukim
Seorang musafir ketika sholat tidak boleh makmum kepada orang yang mukim, atau musafir itu yang menyempurnakan sholatnya.Maka jika seseorang melakukannya, dia wajib menyempurnakn sholatnya, walaupun saat menjadi makmum ketika sedang tasyahud akhir.Sedangkan menurut Hanafiyah, apabila bersamnya imam tidak mendapatkan reka’at secara sempurna, maka sholatnya secara qoshor.
Adapun seorang yang bermukim boleh menjdai makmum orang yang bermusafir, dan bagi musafir hendaknya memberi tahukan bahwa ia akan menqoshor sholatnya, sehingga orang yang bermukim menyempurnakan sholatnya.
c)      Berniat untuk safar ( bepergian jauh ), dalam niat untuk safar disyaratkan dua perkara :
Pertama, berniat untuk menempuh perjalanan dengan sempurna sejak mulai awal perjalanannya.
Kedua, berhak menentukan niat sendiri, maka tidak cukup memerlukan niat apabila seseorang pengikut tanpa adanya niat oleh orang yang diikuti.
d)     Berniat qoshor stiap melaksanakan sholat
Hendaknya berniat sholat qoshor stiap akan melaksanakan sholat yang akan diqoshor. Dari madzhab Malikiyah berpendapat bahwa hanya cukup melakukan niat pada awal melaksanakan sholat yang akan diqoshor dan tidak harus memperbaharui niatnya, sperti niat untuk berpuasa romadlon, cukup niat diawal bulan romadlon[11].
e)      Tidak boleh menqoshor sholat kecuali sudah meninggal kan bangunan kota ( batas kota )
Demikian pendapat empat madzhab, sedangkan menurut pendapat Imamiyah bahwa harus benar-benar jauh dari bangunan kota sehingga tidak tampak oleh pandangan lagi serta sudah tidak kedengaran suara adzan.

2.3.1 Syarat-syarat Diperbolehkannya Melakukan Sholat Jama'
Bagi seseorang diperbolehkan menjamak (menggabungkan) sholat zuhur dengan asar dan magrib dengan isya'. Sedangkan sholat subuh tetap harus dilakukan pada waktunya. Sholat jama' dapat dilakukan dengan syarat-syarat:
a)    Ketika berada di Arafah dan Muzdalifah
[12]Para ulama' sepakat bahwa menjama' taqdim antara sholat dhuhur dengan sholat ashar ketika di Arafah dan menjama' ta'khir antara sholat maghrib dengan sholat isya' di Muzdalifah adalah sunnah. Dalam pendapat yang lain mengatakan bahwa menjamak taqdim di Arafah maupun Muzdalifah. Berdasarkan hadist dari Abdullah bin Mas’ud:
“Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak pernah mengerjakan satu sholat pun kecuali tepat pada waktunya selain 2 sholat yang beliau jamak yakni zuhur dengan asar di Arafah dan maghrib dengan isya’ di Muzdalifah.” (Diriwayatkan oleh syaikhan)
Berdasarkan hadist ini ulama’ Hanafi[13] berpendapat bahwa menjamak salat itu hanya boleh dilakukan dalam hal ini yakni di Arafah dan Muzdalifah dan inipun harus dilakukan secara berjamaah dengan imam (pemimpin) kaum muslimin atau wakilnya. Diluar ini tidak diperkenankan menjamak, baik dalam perjalanan maupun ketika berada dirumah.
b)   Ketika dalam keadaan perjalanan
Menjamak dua sholat dalam satu waktu dari kedua shalat itu boleh dilakukan dengan syarat-syarat berikut:
1.      Jarak perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang dibolehkan mengqosor[14]. Imam Maliki[15] berkata “seorang musafir (orang yang sedang bepergian) tidak boleh menjama’ sholat kecuali jika perjalanannya memberatkan”
2.     كَانَرَسُولُاللَّهِيَجْمَعُبَيْنَصَلَاةِالظُّهْرِوَالْعَصْرِإِذَاكَانَعَلَىظَهْرِسَيْرٍوَيَجْمَعُبَيْنَالْمَغْرِبِوَالْعِشَاءِ
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)[16]
3.      Jenis perjalanan[17] yang diperbolehkan menjama’:
a.       Menurut ibnu qosim perjalanan ibadah seperti Haji dan perang.
b.      Menurut Imam Syafi’i perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk tujuan maksiat.
c)      Ketika dalam keadaan hujan
Menurut Imam Syafi’I[18] boleh menjamak bagi yang tidak bepergian namun terdapat halangan hujan, baik diwaktu siang maupun malam. Sedangkan menurut Malik, boleh menjamak di waktu malam dan tidak boleh diwaktu siang. Malik juga membolehkan jamak ketika jalanan berlumpur dimalam  hari. Imam Bukhori meriwayatkan: “ Bahwa nabi menjamak sholat maghrib dan isyak disuatu malam yang hujan lebat.”
Hadist Ibnu Abbas[19], dia berkata :”Rasulullah SAW pernah menggabungkan antara zuhur dan asar, maghrib dan isya’ di madinan tanpa ada sebab ketakutan maupun hujan.” (Shahih HR.Muslim:705 dalam Al Irwa’:579) hal ini seakan akan menunjukkan bahwa menggabungkan shalat Karena hujan telah dikenal pada masa Nabi SAW, karena kalau tidak demikian maka tidak ada faidah apapun yang didapat dari peniadaan hujan sebagai sebab untuk membolehkan jamak.(Irwa’ Al Ghalil :3/40)
d)   Ketika dalam keadaan sakit atau udzur
Dibolehkan menjamak disebabkan sakit menurut ulama’ Hanbali, Maliki dan Syafi’i. Ulama’ Hanbali[20] memperluas kebolehan menjamak ini hingga boleh juga bagi orang yang berhalangan (uzur) seperti wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh, orang beser kencing dan sebagainya, bagi orang yang khawatir terjadi bahaya bagi jiwa, harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapat kesulitan dalam mata pencahariannya sekiranya ia meninggalkan jamak , dan bagi wanita yang sedang menyusui bila sukar mencuci kain setiap hendak shalat. Demikian itu berdasarkan keterangan dari Ibn Abbas:
“Rasulullah pernah menjamak salat zuhur dengan asar, maghrib dengan Isya’ tanpa ada alas an ketakutan atau turun hujan. Ditanyakan kepada Ibn Abbas: apa maksud Nabi berbuat demikian itu? Maksudnya untuk tidak membeeratkan ummatnya,’ jawab Ibnu Abbas” (Hadist Muslim)
2.4   Tata Cara Melaksanakan Sholat Jama' dan Qoshor
Dalam menggabungkan[21] dua shalat dianjurkan cukup dengan satu adzan dan dua kali iqomat untuk tiap-tiap sholatnya.dalam hadist jabir disebutkan bahwa Nabi SAW shalat di Arafah dengan satu adzan dan dua iqomat, lalu beliau dating ke muzdalifah dan melakukan sholat maghrib dan isya’ dengan satu adzan dan dua iqomat. Beliau tidak melakukan sholat sunnah diantara keduanya. Kemudian beliau tidur sampai terbit fajar (Shahih)
Jamak itu ada 2 cara yakni:
  1. Jamak Taqdim yaitu menjamak shalat diwaktu sholat yang pertama. Contohnya menjamak sholat zuhur dan asar diwaktu zuhur dan menjamak sholat maghrib dan isya’ diwaktu maghrib. Dalam hal ini jumhur berpendapat[22] bahwa disyaratkannya untuk beriringan antar dua sholat tadi tanpa ada pemisah. Syeikh islam Ibnu Taimiyah tidak sependapat dengan pendapat ini, dia berkata, “Tidak disyariatkan yang demikian.Dan ini adalah satu Riwayat dari imam Ahmad dan satu pendapat di kalangan madzhab syafi’i. dan inilah pendapat yang paling mengarah. Tata caranya[23] yaitu:
1.      Sholat diwaktu yang pertama.(dhuhur sebelum asar atau maghrib sebelum isya’)
2.      Berniat jama’ taqdim pada sholat pertama agar berbeda dari sholat-solat biasa.
3.      Berturut-turut dalam mengerjakan diantara keduanya sehingga antara keduanya tidak berselang lama, yakni lebih kurang selama dua rakaat ringan tetapi diantara kedua sholat itu diperbolehkan bersuci, adzan dan iqomah. Ketentuan ini berlaku bagi jamak taqdim, sedangkan untuk jamak ta’khir tidak berlaku[24]
4.      Kedua sholat dilakukan secara tertib, yakni dimulai dengan sholat pertama terlebih dahulu (zuhur ato maghrib) yakni:
Contoh:
1.    Berniat salat duhur dengan jamak takdim. Bila dilafalkan yaitu:
” Saya niat salat salat duhur empat rakaat digabungkan dengan salat asar dengan jamak takdim karena Allah Ta’ala”
2.    Takbiratul ihram
3.    Salat duhur empat rakaat seperti biasa.
4.    Salam
5.    Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (asar), jika dilafalkan sebagai berikut;
“ Saya niat salat asar empat rakaat digabungkan dengan salat duhur dengan jamak takdim karena Allah ta’ala.”
6.    Takbiratul Ihram
7.    Salat asar empat rakaat seperti biasa.
8.    Salam
  1. Jamak Ta’khir yaitu menjamak shalat di waktu shalat yang kedua. Contohnya: menjamak sholat zuhur dan asar diwaktu asar dan menjamak sholat maghrib dan isya’ diwaktu isya’. [25]Apabila kedua shalat yang dijamak dilakukan di waktu shalat yang kedua (jamak ta’khir) , maka tidak di syari’at kan beriringan antara dua sholat yang digabung itu, bahkan diperbolehkan untuk memisah keduanya. Misalkan shalat dhuhur di awal waktu ashar dan shalat ashar di akhirkan sampai habis waktunya. Ini pendapat Jumhur selain madzhab Hanbali. Tata caranya yaitu :
1.      Sholat dilakukan diwaktu yang kedua (asar atau isya’)
2.      Berniat sejak waktu yang pertama bahwa ia akan melakukan sholat pertama itu diwaktu yang kedua, supaya ada maksud yang keras untuk mengerjakan shalat yang pertama dan tidak ditinggalkan begitu saja[26].
3.      Sholat yang dilakukan terlebih dahulu adalah sholat asar atau isya’ terlebih dahulu, baru kemudian sholat dhuhur atau maghrib dan bias juga dilakukan sholat dhuhur atau maghrib terlebih dahulu, baru kemudian sholat asar atau isya’.
Contoh:
1.    Berniat menjamak salat magrib dengan jamak ta’khir. Bila dilafalkan yaitu:
“ Saya niat salat  magrib tiga rakaat digabungkan dengan salat ‘isya dengan jamak ta’khir karena Allah Ta’ala”
2.     Takbiratul ihram
3.     Salat magrib tiga rakaat seperti biasa.
4.     Salam.
5.    Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (‘isya), jika dilafalkan sebagai berikut;
“ Saya berniat salat ‘isya empat rakaat digabungkan dengan salat magrib dengan jamak ta’khir karena Allah Ta’ala.”
6.     Takbiratul Ihram
7.     Salat ‘isya empat rakaat seperti biasa
8.     Salama


Adapun tata cara sholat qoshor itu tidak ada bedanya dengan sholat dua reka’at yang lainnya, karena qoshor hanya meringkas sholat yang empat reka’at menjadi dua reka’at
Pada prinsipnya, pelaksanaan sholak qoshor sama dengan sholat biasa hanya saja berbeda pada niat reka’atnya dijadikan dua reka’at dan tidak ada tasyahud awal. Jadi setelah dua reka’at kemudian melakukan tasyahud akhir dan salam.
Contoh niat dhuhur yang di qoshor
“ aku tunaikan sholat fardlu dhuhur, diqoshor karena allah ata’ala “
Sedangkan tatcara sholat jama’ dan qoshor yang dilakukan sekaligus, tinggal menggabungkan tatacara sholat jama’ di atas yang dikurangi dua reka’at yang semulanya empat reka’at, maka sholat sholat maghrib tiga reka’at walaupun sholat Isya’nya diqoshor menjadi dua.
















BAB III
3.1              KESIMPULAN
sholat jama’ qoshor merupakan salah satu rukhsoh yang diberikan oleh Allah  kepada manusia bagi yang bepergian menempuh jarah jauh, adapun jarak yang sudah ditetapkna oleh para ulama’ yang sudah diuraikan ditas.
Sholat jama’ dan qoshor ini sudah disyari’atkan sejak masa nabi, ketika itu nabi juga melakukan sholat jama’ dan sholat qoshor pada waktu terentu atau pada waktu nabi bepergian yang jauh, yang mana sudah memenuhi syarta untuk melaksanakan jama’ qoshor.
Untuk melaksankan sholat jama’ dan qoshor harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan oleh para ulama’.Dalam hal ini, ulama’ berdeda pendapat dalam menetapkan jarak yang harus ditempuh bagi musafir. Sholat jama’ qoshor ini hanya berlaku pada orang yang bepergian yang jauh saja , sekiranya sudah mencapai jarak minimal 80,640 KM, baru seorang musafir itu boleh melakukan sholat jama’ qoshor.
Untuk tata cara melaksanakan sholat jama’ dan qoshor, bahwa sama seperti melakukan sholat biasa yang semulanya empat reka’at menjadi dua reka’at, atau menggabungkan antara dua sholat menjadi satu dengan pelaksanaannya dua reka’at. 
3.2 SOAL TANYA JAWAB
Adapun soal Tanya jawab ini diajukan oleh audien kepada presentator ketika presentasi makalah ini. Adapun soal Tanya jawab antara lain sebagai berikut:
1.      Ketika sopir mengendarai bus antar propinsi yang tidak pernah berhenti, apakah boleh menqhosor sholatnya, apa hukumnya dan alasannya
Jawaban :
Dalam masalah ini, seorang supir bus antar propinsi boleh melakukan sholat jama’ qoshor, apabila sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk melakukan sholat jama’ qoshor.Dan supir bisa melakukan sholatnya ketika berhenti atau saat menyebrang pulau, jadi supir mempunyai kewajiban untuk melaksanakan sholatnya. Dan apabila supir bus itu tidak berhenti berhari-hari dan hanya di gantikan oleh temannya, maka mereka mendapatkan rukhsoh untuk melaksanakan sholatnya dengan di jama’ qoshor dan tergantung pada masyaqoh( kesusahan ) yang di dapat oleh supir bus.

2.      Berapa jarak untuk boleh menqhosor solat
Jawaban :
Dalam permasalahan ini ulama’ berbeda pendapa dalam menetapkan jarak untuk boleh melakukan sholat jama’ qoshor. Menurut imam Hambali,Maliki, dan Syafi’I menetapkan jarak yang harus ditempuh yaitu 80,5 KM dan di tambah 140 Meter, menurut imam Hanafi jarak yang harus ditempuh oleh seorang musafir adalah 107,5 KM dan ditambah 20 meter, sedangkan menurut madzhab Imamiyah harus menempuh jarak 320 KM.
3.      Apakah boleh seorang yang mukim bermakmun dengan orang musafir
Jawaban :
Apabila orang yang mukin melakukan sholat fardlu empa reka’at dibelakang seorang musafir, maka para ulama’ sepakat bahwa dia harus menyempurnakan sholatnya menjadi empat reka’at setelah imam mengucapkan salam[27]. Dan apabila orang yang bermukim tidak mengetahuinya, hendaknya seorang musafir iu mengatakn kepada orang yang bermukim bahwa saya akan menqoshor sholat.
4.      Permasalahan dalam kasus peserta pernikahan. Apakah kedua mempelai boleh menjama’ dan menqoshor sholatnya ketika sedang melaksankan acara pesta pernikahan yang dilakukan pada waktu siang hari atau jam 11.00 siang.
Jawaban :
Dalam masalah ini, kedua mempelai sebelum dirias seharusnya sudah berwudlu dulu, selain itu waktu dalam pelaksanaan acara pesta perenikahan sudah mendaki waktu sholat dhuhur, alangkah baiknya kedua mempelai itu melaksanakan sholat dhuhur dulu.
5.      Apakah boleh melakukan sholat rowatib qobliyah dan ba’diyah secara berurutan dengan sholat jama’ qoshor.
Jawaban :
Untuk melaksanakan sholat jama’ qoshor,  sebaiknya tidak usah melaksanakan sholat rowatib qobliyah, karena melaksanakan sholat sunnuah dalam sholat jama’ secara berturut-turut tidak ddiperbolehkan dan sholatnya menjadi batal.
6.      Dalam syarat-syarat jama’ qoshor, seorang musafir tidak boleh melakukan  perjalanan maksiat. Apa yang dimaksud dengan al-‘Ashi bis safar dan al-‘Ashi fis safar.
Jawaban :
Yang dimaksud dengan al-‘Ashi bis safaryaitu : menurut Imam Syafi’i, apabila seseorang sedang melakukan perjalan yang jauh dan memenuhi syarat untik menqoshor sholat dengang tujian atau niat untuk maksiat, maka tidak ada rukhsoh untuk menjama’ dan menqhor sholat bagi musafir yang bertujuan untuk maksiat.
Sedangkan yang dimaksud dengan al-‘Ashi fis safar yaitu : apabila seseorang sedang melakukan perjalan yang jauh dan memenuhi syarat untik menqoshor sholat pada niatan atau tujuan awalnya tidak ada tujuan untuk maksiat, tetapi sampai di tengah perjalanan musafir itu melakukan maksiat, maka musafir tidak mendapatkan rukhsoh untuk menjama’ dan menqoshor sholatnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Ø Ar-Rahbawi , Abdul qodir. 2008.  Salat Empat Madzhab. Bogor : PT Pustaka Litera AntarNusa
Ø  Kamal, Abu malik bin As-Sayyid Salim. 2006. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta :  Pustaka Azam
Ø  Rasjid, Sulaiman. 1983. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyyah
Ø  Rusyd, Ibnu. 2006.  Bidayatul Mujtahidin. Jakarta : Pustaka Azam
Ø  Dalam fiqih islam cetakan ke-2
Ø  Arfan, Abbas.Fiqh Ibadah. Malang : UIN Maliki Press 2011
Ø  Az-Zuhaili, Wahban. fiqih islam wa adillatuhu, depok: Gema Insani. 2010
Ø  Al qur’an dan terjemah, Departemen Agama: Menara Kudus. 1997
Ø  Abdul Aziz Muhammad Azzam. FIQIH IBADAH. Abdul Aziz sayyed Hawwas. Jakarta: amzah. 2009. Hlm 288
Ø  Muhammad Baghir al-Habsy, FIKIH PRAKTIS :MENURUT AL QUR’AN, AS-SUNNAH DAN PEDAPAT      PARA ULAMA’. Bandung: Mizan Media utama. 2002. Hlm 208
Ø  Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Sholat Menurut Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar. 2005. Hlm 283





[1] Abbas arfan, Fiqh Ibadah, (UIN Maliki Press, 2011), hal 95
[2]Dalam fiqih islam cetakan ke-2
[3]Wahbah az-Zuhaili,fiqih islam wa adillatuhu, depok: Gema Insani. 2010, Hlm 423
[4]Al qur’an dan terjemah, Departemen Agama: Menara Kudus, 1997, Hlm 95
[5] CD Kutub al-Hadits, al-Aries, Shahih Muslim, Hadits no 1531
[6]
[7] Al qur’an dan terjemah, Departemen Agama: Menara Kudus, 1997, Hlm 95
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam. FIQIH IBADAH. Abdul Aziz sayyed Hawwas. Jakarta: amzah. 2009. Hlm 288
[9] Muhammad Baghir al-Habsy, FIKIH PRAKTIS :MENURUT AL QUR’AN, AS-SUNNAH DAN PEDAPAT PARA ULAMA’. Bandung: Mizan Media utama. 2002. Hlm 208
[10] Ibid.co.Hlm 209
[11]Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Sholat Menurut Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar. 2005. Hlm 283
[12] Dalam fiqih islam cetakan ke-2
[13] Abdul qodir Ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab (Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa, 2008), hal 394
[14]Menurut Syafi’I sejauh 540 km, Maliki sejauh 65,764 km dan Hanafi sejauh 85 km.
[15] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahidin (Jakarta:Pustaka Azam,2006) , hal. 362
[16] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 773
[17] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahidin (Jakarta:Pustaka Azam,2006) , hal. 362-363
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahidin (Jakarta:Pustaka Azam,2006) , hal. 363
[19] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 775
[20] Abdul qodir Ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab (Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa, 2008), hal. 397
[21] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 777
[22] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 777
[23] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyyah, ) hal. 122
[24] Abdul qodir Ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab (Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa, 2008), hal. 394
[25] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 777
[26] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyyah, ) hal. 122
[27]Abdul Malik Kamal bin Sayyid Salim, SHOHIH FIKIH SUNNAH Lengkap, Jakarta: Pusaka Azzam, 2006, Hlm 768